Pada tahun 2005, dunia menyaksikan salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah Amerika Serikat. Badai Katrina, yang menghantam wilayah tenggara negara itu, menjadi simbol keganasan alam sekaligus peringatan akan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi badai besar. Dampaknya sangat luas, terutama di New Orleans, Louisiana, di mana sekitar 80 persen wilayah kota tersebut terendam banjir.
Katrina terbentuk di atas Bahama pada 23 Agustus 2005. Awalnya, ia hanya dikategorikan sebagai badai tropis. Namun, dalam waktu singkat, kekuatannya meningkat tajam dan berubah menjadi badai kategori 5 di Samudra Atlantik—kategori tertinggi dalam skala Saffir-Simpson. Saat mencapai daratan Louisiana pada 29 Agustus, kekuatannya sedikit menurun menjadi kategori 3, namun itu tetap lebih dari cukup untuk menyebabkan kerusakan besar.
Salah satu penyebab utama kerusakan parah di New Orleans adalah kegagalan sistem tanggul yang dibangun untuk melindungi kota dari air. Letak geografis New Orleans yang berada di bawah permukaan laut membuatnya sangat rentan terhadap banjir besar. Saat tanggul-tanggul tersebut jebol akibat tekanan air yang luar biasa, kota pun langsung terendam. Ribuan rumah terendam air setinggi atap, dan ratusan ribu warga terpaksa mengungsi.
Lebih dari 1.800 orang dilaporkan tewas akibat badai ini, dan kerugian ekonominya mencapai lebih dari $125 miliar, menjadikan Katrina salah satu badai paling mahal sepanjang sejarah. Namun di balik angka-angka itu, ada kisah kemanusiaan yang begitu dalam—tentang warga yang terjebak berhari-hari tanpa bantuan, keluarga yang terpisah, dan komunitas yang hancur dalam sekejap.
Yang membuat Katrina begitu mencolok bukan hanya kekuatan alamnya, tapi juga respons yang lambat dan kacau dari pemerintah saat itu. Ribuan orang tertahan di dalam Superdome dan pusat-pusat evakuasi lain dengan kondisi minim air bersih, makanan, dan fasilitas kesehatan. Banyak yang menilai bahwa bencana ini memperlihatkan ketimpangan sosial yang sudah lama ada, karena komunitas miskin dan minoritas adalah yang paling terdampak dan paling lama mendapatkan bantuan.
Setelah badai mereda, dunia menyaksikan upaya pemulihan yang panjang dan berliku. Kota New Orleans secara perlahan dibangun kembali, baik secara fisik maupun sosial. Pemerintah federal, negara bagian, dan lokal mulai mengalokasikan dana besar untuk memperbaiki dan memperkuat sistem perlindungan banjir. Program-program relokasi dan pembangunan rumah baru juga diluncurkan, meski tidak semuanya berjalan mulus.
Kini, dua dekade setelah Katrina, kota ini masih terus belajar dan berbenah. New Orleans bukan hanya bangkit, tapi juga mengembangkan sistem peringatan dini dan infrastruktur tangguh yang lebih siap menghadapi badai di masa depan. Katrina telah menjadi pelajaran besar bagi banyak kota di dunia yang menghadapi risiko serupa, bahwa ketahanan terhadap bencana bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal keadilan sosial, koordinasi antarinstansi, dan partisipasi warga.
Badai Katrina adalah pengingat bahwa perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan—ia sudah hadir dan nyata. Pemanasan global meningkatkan suhu permukaan laut, dan itu adalah bahan bakar utama bagi pembentukan badai tropis. Maka dari itu, membangun sistem mitigasi dan adaptasi menjadi semakin penting untuk menjaga keselamatan jutaan jiwa di seluruh dunia.