Pada awal September 2017, dunia kembali menyaksikan kedahsyatan badai tropis kategori 5 yang melanda kawasan Atlantik—Badai Irma. Dengan kekuatan angin yang luar biasa, Irma menyapu sejumlah wilayah Karibia dan pantai tenggara Amerika Serikat, meninggalkan jejak kehancuran yang luas. Kecepatannya bahkan disamakan dengan tornado kuat yang bertahan selama berjam-jam, sesuatu yang sangat langka dalam sejarah badai tropis.
Badai Irma pertama kali terbentuk pada 30 Agustus 2017 dari gelombang tropis di lepas pantai Afrika Barat. Dalam waktu singkat, ia berkembang menjadi badai besar dan mencapai kategori 5 pada 5 September. Irma mencatatkan rekor sebagai badai Atlantik pertama dalam sejarah yang mempertahankan kecepatan angin maksimum sebesar 295 km/jam selama 37 jam berturut-turut. Ini bukan hanya pencapaian meteorologis, tetapi juga peringatan keras akan kekuatan destruktif badai di era perubahan iklim.
Wilayah pertama yang terdampak langsung adalah Kepulauan Leeward di Karibia, termasuk Barbuda, Saint Martin, dan British Virgin Islands. Pulau-pulau kecil ini, yang terkenal sebagai destinasi wisata, luluh lantak dalam hitungan jam. Di Barbuda, sekitar 95 persen infrastruktur hancur, memaksa seluruh populasi mengungsi dan menjadikan pulau itu nyaris tidak berpenghuni untuk sementara waktu.
Irma kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Puerto Riko, Republik Dominika, Haiti, dan Kuba sebelum akhirnya mencapai wilayah Florida di Amerika Serikat. Meskipun kekuatannya sedikit menurun sebelum mendarat di Florida, dampaknya tetap besar. Angin kencang, gelombang badai setinggi beberapa meter, dan curah hujan ekstrem menyebabkan banjir parah di banyak wilayah, termasuk Miami dan Jacksonville.
Total korban jiwa akibat Irma diperkirakan mencapai lebih dari 130 orang, dan kerugian ekonominya melampaui $77 miliar. Di banyak tempat, pemadaman listrik berlangsung selama berminggu-minggu. Ribuan rumah rusak berat atau hancur, dan sektor pariwisata di Karibia mengalami pukulan besar. Namun lebih dari sekadar kerusakan fisik, Irma meninggalkan trauma mendalam bagi jutaan orang yang mengalami langsung badai tersebut.
Salah satu hal yang paling mencolok dari Irma adalah konsistensi kekuatannya. Biasanya, badai tropis akan kehilangan sebagian besar kekuatannya saat menyentuh daratan atau saat melalui wilayah dengan suhu laut lebih rendah. Namun Irma mempertahankan kekuatan angin setara tornado kategori 4 hingga 5 selama lebih dari satu setengah hari. Hal ini terjadi karena suhu permukaan laut yang sangat hangat, kondisi atmosfer yang stabil, dan kelembapan tinggi—faktor-faktor yang diperburuk oleh pemanasan global.
Respons terhadap Irma mendapat sorotan karena dianggap lebih baik dibandingkan beberapa badai sebelumnya seperti Katrina. Pemerintah daerah dan federal di Amerika Serikat, serta otoritas di negara-negara Karibia, telah mengeluarkan peringatan dini dan melakukan evakuasi massal sebelum badai tiba. Meski demikian, tantangan logistik tetap menjadi hambatan besar, terutama di pulau-pulau kecil yang aksesnya terbatas.
Setelah Irma, banyak negara mulai mengevaluasi ulang kesiapan mereka dalam menghadapi badai kategori tinggi. Mulai dari desain bangunan tahan badai, sistem peringatan berbasis teknologi, hingga kebijakan zonasi wilayah pesisir. Di sisi lain, masyarakat internasional juga mulai lebih serius dalam membahas dampak perubahan iklim terhadap frekuensi dan intensitas badai tropis di masa depan.
Badai Irma bukan sekadar badai besar lainnya. Ia adalah simbol dari ancaman nyata yang datang dari atmosfer yang semakin hangat. Dan jika dunia tidak segera mengambil langkah-langkah serius dalam mitigasi perubahan iklim, badai seperti Irma mungkin akan menjadi lebih sering terjadi—dan lebih destruktif.