Badai tropis Bhola yang terjadi pada bulan November 1970 dikenal sebagai bencana topan paling mematikan yang pernah tercatat dalam sejarah modern. Badai ini menghantam wilayah dataran rendah di Delta Sungai Gangga, khususnya Pakistan Timur (yang kini menjadi Bangladesh), serta sebagian wilayah India, dan mengakibatkan kematian ratusan ribu orang dalam waktu yang sangat singkat.
Bhola terbentuk di Teluk Benggala, wilayah yang dikenal sebagai salah satu daerah paling aktif dan berisiko tinggi terhadap badai tropis. Pada 12 November 1970, badai tersebut mencapai puncaknya dan mendarat di wilayah pesisir Pakistan Timur dengan kecepatan angin mencapai sekitar 185 km/jam. Namun bukan anginnya yang menjadi penyebab utama bencana, melainkan gelombang pasang besar yang menyertainya.
Gelombang badai (storm surge) yang dibawa Bhola diperkirakan mencapai ketinggian hingga 10 meter. Air laut menerjang ke daratan rendah tanpa peringatan yang cukup, menyapu pemukiman padat penduduk yang sebagian besar dibangun di dataran banjir tanpa perlindungan alami atau infrastruktur yang memadai. Desa-desa hancur total, dan sebagian besar penduduk tidak memiliki kesempatan untuk menyelamatkan diri.
Perkiraan jumlah korban jiwa akibat Bhola bervariasi, namun angka yang paling sering dikutip adalah sekitar 300.000 hingga 500.000 jiwa. Sebagian besar korban meninggal karena tenggelam dalam banjir pasang atau karena luka dan penyakit yang menyebar setelah bencana. Bencana ini menjadi yang paling mematikan dalam sejarah badai tropis, bahkan melampaui badai Katrina, Haiyan, atau Irma dari segi jumlah korban.
Badai Bhola tidak hanya menimbulkan krisis kemanusiaan berskala besar, tetapi juga berdampak pada dinamika politik regional. Pemerintah Pakistan saat itu dianggap lambat dan tidak efektif dalam memberikan bantuan dan menangani dampak bencana di wilayah Pakistan Timur. Kegagalan respons ini memicu kemarahan luas dan memperburuk ketegangan antara Pakistan Timur dan Barat, yang kemudian menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya Perang Pembebasan Bangladesh pada tahun 1971.
Secara geografis, kawasan yang terdampak Bhola memang sangat rentan. Delta sungai besar seperti Ganges-Brahmaputra tidak hanya padat penduduk, tapi juga datar dan mudah tergenang. Selain itu, penduduk setempat hidup dalam kondisi ekonomi yang lemah, dengan akses yang terbatas terhadap informasi cuaca, sistem peringatan dini, dan tempat evakuasi yang aman.
Tragedi ini kemudian menjadi titik balik dalam upaya mitigasi bencana di kawasan Asia Selatan. Setelah Bhola, pemerintah Bangladesh dan komunitas internasional mulai mengembangkan sistem peringatan dini yang lebih baik, termasuk penggunaan sirene, penyebaran informasi berbasis komunitas, dan pembangunan tempat penampungan tahan badai. Program edukasi masyarakat untuk memahami risiko badai juga mulai digencarkan.
Meskipun risiko badai di wilayah Teluk Benggala masih tinggi hingga hari ini, jumlah korban jiwa dalam badai-badai besar setelah Bhola cenderung lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa upaya mitigasi yang berbasis pada pengalaman masa lalu bisa menyelamatkan banyak nyawa, asalkan dilakukan secara konsisten dan inklusif.
Badai Bhola adalah pengingat pahit akan kerentanan masyarakat miskin di wilayah rawan bencana. Ia menegaskan bahwa badai tidak hanya urusan alam, tetapi juga soal ketimpangan sosial, kualitas pemerintahan, dan akses terhadap informasi serta infrastruktur. Dalam dunia yang kian terdampak oleh perubahan iklim, pelajaran dari Bhola tetap relevan: kesiapsiagaan dan keadilan sosial harus berjalan beriringan.